Isu.co.id Surabaya, Jawa Timur – Rabu 27 Agustus 2025: Aktivitas tambang galian C di Situbondo, Jawa Timur, kian hari kian tak terkendali. Bukan hanya sekadar persoalan izin yang sudah mati, bergeser koordinat, atau syarat administrasi yang tidak terpenuhi, tetapi lebih jauh, fenomena ini mencerminkan adanya praktik kejahatan lingkungan dan kejahatan birokrasi yang dilakukan secara terorganisir.
Eko Febriyanto, perwakilan Siti Jenar Group Multimedia, menyebut kondisi ini sebagai bentuk persekongkolan antara pengusaha tambang nakal dan oknum aparat/pejabat yang sengaja menutup mata demi kepentingan pribadi. “Tambang yang izinnya mati bisa tetap beroperasi. Itu artinya ada perlindungan dari dalam. Ini bukan sekadar pelanggaran biasa, tapi sudah masuk ranah kejahatan birokrasi,” tegasnya, Rabu (27/8).
Kerusakan lingkungan akibat tambang liar semakin meluas. Jalan desa penuh lubang akibat truk-truk pengangkut material, lahan pertanian rusak parah, sumber air masyarakat tercemar, dan udara dipenuhi debu. Dampak ini bukan hanya merugikan ekosistem, tapi juga langsung menghantam kesehatan dan ekonomi rakyat kecil.
“Air sumur kami sudah tak layak minum, sawah tidak bisa ditanami lagi karena lumpur tambang. Kami dipaksa menanggung akibat dari keserakahan para pengusaha yang dilindungi pejabat,” keluh Sumiati, warga Kecamatan Besuki.
Fakta di lapangan menunjukkan adanya perusahaan tambang yang izinnya telah berakhir bertahun-tahun lalu, namun tetap beroperasi tanpa hambatan. Bahkan, titik eksploitasi mereka sering bergeser dari koordinat awal. Hal ini jelas memperlihatkan adanya manipulasi data dan pembiaran yang disengaja.
“Kalau izinnya mati tapi tambangnya masih hidup, itu artinya ada birokrasi yang ikut bermain. Kita sebut ini kejahatan birokrasi karena aparat pemerintahan yang seharusnya mengawasi justru bersekongkol,” tegas Eko.
Di balik lancarnya operasi tambang bermasalah, tersiar kabar adanya praktik “setoran gelap” kepada oknum pejabat maupun aparat. Pola ini membuat pengawasan menjadi lumpuh, sementara aparat hanya sesekali melakukan razia formalitas untuk sekadar menunjukkan kinerja.
“Ini seperti ada pasar gelap izin tambang. Pengusaha bayar setoran, oknum pejabat dapat jatah, lalu tambang jalan terus. Negara rugi, rakyat sengsara, lingkungan hancur,” ujar seorang aktivis lingkungan yang enggan disebutkan namanya.
Selain merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat, praktik ini juga merampok keuangan negara. Pajak dan retribusi daerah tidak masuk karena izin mati, sementara hasil tambang tetap dipanen. Belum lagi dugaan penggunaan BBM subsidi untuk operasional tambang yang jelas-jelas melanggar hukum.
“Setiap hari negara dirugikan miliaran rupiah. Tapi anehnya, semua diam. Mafia tambang dan oknum pejabat justru semakin kaya,” kata Eko.
Melihat kondisi ini, desakan publik agar pemerintah pusat turun tangan semakin kuat. Warga dan aktivis menuntut dibentuknya tim investigasi independen untuk membongkar dugaan mafia tambang dan kejahatan birokrasi yang melindunginya.
“Kalau hanya mengandalkan pengawasan lokal, hasilnya nihil. Harus ada intervensi langsung dari pusat. Mafia tambang harus ditindak, oknum pejabat yang bermain juga harus diseret ke meja hukum,” pungkas Eko.

Kejahatan tambang di Situbondo bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi. Ia telah berubah menjadi kejahatan lingkungan, kejahatan birokrasi, sekaligus kejahatan sosial yang mengorbankan rakyat kecil demi memperkaya segelintir orang.
(Redaksi Investigasi Siti Jenar Group Multimedia)