Isu.co.id Jakarta – Revisi Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) mendapat penolakan luas dari berbagai pihak. Sebanyak 34 organisasi masyarakat (ormas) besar menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer dengan memperbolehkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil.
Di media sosial, tagar #TolakRUUTNI menjadi trending topic dalam beberapa hari terakhir. Hingga Senin pagi (17/3/2025), ratusan ribu unggahan membahas kekhawatiran publik bahwa revisi ini dapat mengancam demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.
Ketua PBNU Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) menilai tidak masuk akal jika prajurit TNI aktif bisa bertugas di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, kedua lembaga tersebut membutuhkan kompetensi hukum yang tidak dimiliki oleh personel TNI. “Ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang bersih dan demokratis,” ujarnya.
Savic juga mengkritik proses pembahasan revisi RUU TNI yang dilakukan secara tertutup di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Sabtu (15/3). Ia menekankan bahwa RUU ini harus dikaji secara terbuka dengan melibatkan publik.
Sementara itu, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid berharap TNI tetap fokus pada pertahanan negara dan tidak masuk ke ranah sipil. “Jika prajurit aktif ingin menduduki jabatan sipil, mereka harus menanggalkan status militernya,” tegasnya.
Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah perluasan jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 16. Beberapa lembaga tambahan yang diusulkan meliputi BNPB, BNPT, Kejaksaan Agung, serta sektor kelautan dan perikanan.
Gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat terus meningkat. Publik kini menunggu respons dari DPR dan pemerintah terkait tuntutan agar revisi RUU TNI dikaji ulang secara mendalam dan transparan.
(Red/Tim)