Isu.co.id Bondowoso, Jawa Timur —Misteri legalitas tanah yang digunakan untuk mendirikan Kecamatan Ijen di Kabupaten Bondowoso mulai terkuak. Laporan investigatif terbaru dari LSM Siti Jenar mengungkap fakta mengejutkan bahwa seluruh wilayah administratif Kecamatan Ijen dibangun di atas tanah negara, tanpa proses pelepasan, hibah, atau legalisasi yang sah secara hukum.

Kecamatan Ijen, yang resmi dimekarkan dari Kecamatan Sempol pada awal tahun 2000-an, saat ini menaungi enam desa: Sempol, Kalisat, Jampit, Kaligedang, Kalianyar, dan Sumberrejo. Namun, seluruh kawasan tersebut, baik permukiman warga maupun fasilitas pemerintahan, masih berstatus tanah negara, termasuk tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik BUMN PTPN XII dan lahan Perhutani yang merupakan kawasan hutan negara.
Latar Belakang Sejarah: Kecamatan Berdiri, Tanah Tak Pernah Diserahkan.
Pendirian Kecamatan Ijen dilakukan semata-mata demi pelayanan administratif, tetapi tanpa diiringi pembenahan aspek legal agraria. Tidak ada dokumen pelepasan kawasan hutan, tidak ada proses hibah tanah, dan tidak pernah ada keputusan menteri yang menetapkan tanah negara sebagai aset pemerintah daerah.
“Kami menemukan bahwa kantor camat, kantor desa, Puskesmas, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah penduduk di Ijen berdiri di atas tanah yang belum pernah diserahkan secara legal kepada Pemkab Bondowoso. Ini adalah kesalahan administrasi besar,” ungkap Eko Febrianto, Ketua LSM Siti Jenar, kepada awak media.
Fasilitas Pemerintahan Tak Miliki Dasar Hukum Tanah:
Ironi terbesar terjadi ketika kantor Camat Ijen — yang menjadi pusat pemerintahan kecamatan — tidak memiliki dokumen kepemilikan tanah maupun status hak pakai. Fasilitas umum lainnya seperti sekolah negeri, Puskesmas, dan Balai Desa juga senasib. Tanpa status hukum tanah yang sah, semua bangunan tersebut berada dalam kondisi yang secara hukum ilegal.
Hal ini bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif yang sistemik. Menurut UUPA 1960 dan regulasi terkait pengelolaan aset negara, pembangunan fasilitas pemerintah wajib didasarkan pada legalitas tanah yang sah.
Masyarakat Hidup Tanpa Kepastian Hukum:
Warga Ijen telah menetap di wilayah tersebut selama puluhan tahun. Namun hingga kini, tidak satu pun dari mereka memiliki sertifikat hak milik atau hak guna bangunan. Status permukiman mereka adalah non-formal dan dianggap berdiri di atas tanah negara tanpa izin.
Akibatnya, masyarakat tidak bisa:
Mensertifikatkan tanah yang mereka huni,
Mengakses bantuan perumahan berbasis legalitas lahan,
Mengagunkan tanah untuk kredit usaha di lembaga perbankan.

“Bertahun-tahun kami tinggal di sini. Bayar pajak, bangun rumah, bangun kehidupan. Tapi sampai hari ini, kami tidak punya hak tanah,” kata Ahmad, warga Desa Kaligedang, dengan nada kecewa.
Pemerintah Daerah dan Provinsi Dinilai Abai:
Kondisi ini tak lepas dari lemahnya kontrol dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Bondowoso serta Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Selama lebih dari 20 tahun, tidak ada upaya konkret untuk mengurus alih fungsi atau pelepasan tanah negara di Ijen.
“Kami tidak menemukan dokumen hibah dari PTPN XII atau pelepasan kawasan dari Perhutani. Artinya, baik provinsi maupun kabupaten telah membiarkan masyarakat dan aparatur pemerintah bekerja di atas tanah yang secara hukum bukan milik mereka,” lanjut Eko.
Jika dibiarkan, persoalan ini bisa berujung pada pembatalan aset, gugatan hukum dari pemilik legal (negara), hingga pengosongan paksa jika sewaktu-waktu negara menarik kembali hak pengelolaannya.
Seruan: Legalisasi dan Penataan Ulang Harus Segera.
LSM Siti Jenar mendesak agar pemerintah pusat segera turun tangan. Langkah-langkah yang disarankan antara lain:
1. Audit agraria menyeluruh terhadap seluruh aset fisik di Kecamatan Ijen.
2. Dialog antara BPN, Pemkab, Kementerian LHK, dan BUMN pengelola tanah untuk proses legalisasi.
3. Program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) agar masyarakat memperoleh hak atas tanah yang mereka tempati.
4. Penguatan status hukum fasilitas publik melalui hibah atau pengalihan aset.
“Jika Kecamatan Ijen ingin bertahan sebagai wilayah administratif yang sah, maka semua dasarnya — mulai dari tanah hingga tata ruang — harus dilegalkan terlebih dahulu,” tegas Eko.
Penutup:
Kasus Kecamatan Ijen menjadi cermin buram tata kelola wilayah di Indonesia, di mana kelemahan administratif bisa mengorbankan hak rakyat dan keabsahan pemerintahan itu sendiri. Jika tidak segera diselesaikan, Ijen akan tetap menjadi kecamatan yang “mengambang”: ada secara struktural, tetapi tak memiliki pijakan legal di atas bumi yang dipijaknya.

Pemerintah pusat dan daerah kini ditantang untuk menuntaskan persoalan ini secara menyeluruh, bukan hanya demi warga Ijen, tapi juga demi tertib hukum dan kepastian dalam sistem pemerintahan daerah.
(Tim Investigasi Agraria & Pemerintahan Daerah Situ Jenar Group Multimedia
Dokumentasi: LSM Siti Jenar, Data BPN Bondowoso, Kementerian ATR/BPN, Perhutani KPH Bondowoso)