Isu.co.id Situbondo, Jawa Timur — Senin, 15 September 2025:Aksi massa warga Banyuglugur, Senin (8/9), yang menuntut penutupan stockpile sawdust (serbuk kayu) kembali membuka mata publik soal problematika industri pengolahan kayu di Kabupaten Situbondo. Di balik tumpukan serbuk yang tampak biasa, tersimpan sederet persoalan serius: mulai dari gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan, hingga minimnya kontribusi ekonomi daerah.

Hasil penelusuran tim redaksi bersama LSM Siti Jenar menemukan bahwa lokasi stockpile berada tak jauh dari pemukiman warga dan masjid. Serbuk kayu ditumpuk dalam jumlah besar tanpa perlindungan memadai. Angin laut utara yang kencang di jalur Pantura Situbondo membuat partikel debu beterbangan hingga radius ratusan meter.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sempat merekomendasikan pemasangan pagar tinggi dan jaring faranet, serta penyiraman rutin. Namun pantauan di lapangan, upaya itu belum berjalan optimal.
“Debunya masuk ke rumah, ke masjid, bahkan sampai sawah. Kalau malam hujan, baunya menyengat seperti kayu busuk. Kalau siang panas, debunya beterbangan,” ujar Mardiyah, warga sekitar yang rumahnya hanya 30 meter dari lokasi.
Serbuk kayu mengandung partikel mikroskopis yang berbahaya bila terhirup dalam jangka panjang. Dokter paru dari RSUD Situbondo, yang enggan disebut namanya, menjelaskan potensi penyakit yang bisa timbul.
“Paparan jangka panjang dapat memicu ISPA, iritasi mata, bahkan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Anak-anak dan lansia paling rentan. Kalau pengelolaannya tidak standar, ini bisa jadi ancaman kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Fakta di lapangan menunjukkan, sejumlah anak-anak di lingkungan terdekat kerap mengalami batuk kronis. Meski belum ada penelitian medis komprehensif, warga yakin gejala itu berkaitan dengan stockpile sawdust.

Sekretaris Daerah Situbondo, Wawan Setiawan, mengungkapkan bahwa izin operasional stockpile diterbitkan melalui sistem OSS nasional, dengan masa berlaku lima tahun. Artinya, Pemkab tidak punya kewenangan penuh untuk menutupnya secara sepihak.
Namun, Pemkab tetap memiliki hak melakukan evaluasi dan pengawasan. Tim gabungan dari DLH, Disperindag, dan Satpol PP sudah turun ke lapangan untuk meminta perbaikan sistem pengelolaan.
“Kami tidak tinggal diam. Warga punya hak hidup sehat. Walaupun izin dari pusat, Pemkab tetap bisa menegur dan memberi sanksi jika terbukti ada pelanggaran,” kata Wawan.
Investigasi LSM Siti Jenar selain permasalahan Swdust yang meresahkan ini Siti Jenar Juga menemukan indikasi lain: penggunaan BBM jenis solar bersubsidi untuk operasional industri. Bila benar, hal ini jelas merugikan negara sekaligus melanggar aturan distribusi energi.
“Kami menduga ada permainan dalam distribusi BBM bersubsidi. Industri besar seharusnya menggunakan solar non-subsidi. Kalau mereka pakai subsidi, itu sama saja merampas hak rakyat kecil,” ungkap Eko Febrianto, Ketua Umum LSM Siti Jenar.
Meski aktivitas industri berjalan bertahun-tahun, kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Situbondo disebut nyaris tidak ada. LSM Siti Jenar menyoroti minimnya retribusi resmi dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
“Warga jadi korban debu, jalan rusak akibat truk pengangkut, tapi daerah tidak mendapat manfaat signifikan. Ini ironi: Situbondo hanya dijadikan ladang eksploitasi, bukan pembangunan,” tambah Eko.
Massa aksi akhirnya ditemui oleh Wakil Ketua DPRD Situbondo, Andi Handoko, yang berjanji meninjau lokasi bersama komisi terkait. Ia memastikan aspirasi warga akan dibawa ke forum resmi DPRD.
Sementara itu, aparat kepolisian berjaga ketat agar aksi berjalan damai. Kapolres Situbondo, AKBP Rezi Dharmawan, menyatakan pihaknya terbuka terhadap laporan masyarakat.
“Kami mengawal agar penyampaian pendapat berlangsung tertib. Persoalan jalan rusak dan potensi kecelakaan memang ada, tapi kami perlu data detail untuk ditindaklanjuti,” kata Kapolres.
Akankah Suara Warga Ditindaklanjuti?
Bagi warga Banyuglugur, persoalan stockpile sawdust bukan sekadar debu. Ini adalah soal kesehatan, kenyamanan ibadah, ketahanan pangan petani, hingga masa depan generasi.

Kini, keputusan ada di tangan Pemkab dan DPRD Situbondo: apakah keberpihakan mereka akan nyata membela rakyat kecil, atau justru tunduk pada kepentingan industri yang merusak?
(Redaksi/Tim Investigasi Siti Jenar Group Multimedia)