Oleh: Pimpinan Redaksi Sitijenarnews Group Multimedia
Isu.co.id Senin 14 April 2025; Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya tuntutan profesionalisme di dunia jurnalistik, muncul fenomena memprihatinkan yang kini menjadi rahasia umum: penyimpangan profesi oleh sejumlah oknum wartawan dan pimpinan media. Mereka bukan lagi berfungsi sebagai penyampai fakta, namun telah menjelma menjadi pelaku bisnis yang menyalahgunakan status jurnalis demi kepentingan pribadi. Fenomena ini bukan hanya mencederai profesi wartawan itu sendiri, tetapi juga merusak marwah jurnalisme sebagai pilar keempat demokrasi.
Sertifikat UKW Jadi Tameng Legitimasi, Bukan Cermin Kompetensi:
Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, praktik menyimpang ini tampak makin mengkhawatirkan. Banyak dari para pelaku mengklaim diri sebagai “wartawan senior” dan menjadikan Sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai alat legitimasi untuk menutupi praktik-praktik kotor mereka. Sertifikat yang seharusnya menjadi bukti kompetensi profesional justru dijadikan tameng untuk menciptakan kredibilitas semu di mata publik dan pejabat pemerintah.
Oknum wartawan ini menawarkan jasa pemasangan iklan kepada instansi pemerintahan dengan pola-pola yang tak jarang menyimpang dari regulasi. Biaya yang ditagihkan pun sering kali tak sesuai dengan aktivitas atau jangkauan media tersebut, bahkan tidak terdaftar secara resmi dalam sistem perusahaan. Praktik ini jelas merugikan anggaran negara dan mencederai etika pengelolaan media.
Jurnalis atau Makelar? Profesi yang Tergadai Demi Proyek
Lebih jauh lagi, keterlibatan mereka dalam dunia bisnis tidak hanya berhenti pada pemasangan iklan. Banyak di antara mereka juga menggeluti usaha di luar koridor jurnalistik seperti pemasangan baliho, pengadaan barang dan jasa, serta jasa event organizer yang tak memiliki legalitas formal. Mereka juga kerap menjadi perantara proyek pemerintah—menjadi makelar yang lihai melobi dan mengatur kepentingan, alih-alih menjadi pengawas kekuasaan.
Peran mereka di ruang redaksi kini semakin kabur. Kantor media tak lagi digunakan untuk membahas dan menyusun berita yang mencerdaskan publik, melainkan menjadi tempat menyusun strategi lobi politik dan mengatur pembagian proyek. Di warung-warung kopi dekat kantor dinas, mereka rutin berkumpul membahas proposal, menyusun rencana pemasangan iklan, dan mencari celah agar bisa masuk dalam pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Menguasai Organisasi Pers, Menekan Media Baru:
Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa dari oknum tersebut memegang jabatan dalam organisasi pers dan menjadikannya alat untuk menekan media lain yang lebih muda atau belum terverifikasi. Sertifikat UKW dan status verifikasi Dewan Pers dijadikan sebagai senjata untuk mempertahankan dominasi atas ekosistem media lokal. Kalimat seperti “Apakah kamu sudah UKW?” atau “Medianya sudah diverifikasi Dewan Pers?” menjadi cara untuk menekan dan melemahkan eksistensi media yang independen.
Ini bukan lagi soal kompetensi, melainkan soal mempertahankan akses terhadap proyek dan anggaran. Ironisnya, organisasi pers yang seharusnya berfungsi membina dan melindungi wartawan justru disusupi oleh individu yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Berita yang Tak Lagi Bernyawa: Dari Fakta ke Rilis Pers:
Praktik ini juga berdampak pada kualitas pemberitaan. Alih-alih melakukan peliputan mendalam dan investigasi lapangan, oknum wartawan ini lebih sering hanya melansir rilis pers dari humas pemerintahan, TNI, dan Polri. Tidak ada upaya klarifikasi, tidak ada keberimbangan, dan tak ada keberanian untuk mengungkap kebenaran. Berita menjadi sekadar formalitas, tanpa ruh jurnalisme yang sejatinya memperjuangkan suara rakyat.
Waktu dan tenaga mereka dihabiskan bukan untuk mencari berita, melainkan untuk mencari peluang negosiasi anggaran dan iklan. Ini menandai pergeseran drastis dari fungsi utama pers sebagai alat kontrol sosial, menjadi instrumen transaksional yang tak berjiwa.
Pengkhianatan terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik:
Praktik-praktik ini jelas merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 serta Kode Etik Jurnalistik. Media bukan alat transaksi, dan wartawan bukan calo proyek. Mereka yang menggunakan profesi ini untuk meraup keuntungan pribadi jelas telah mengkhianati tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyambung lidah masyarakat.
Lebih ironis lagi, meski terlibat dalam berbagai praktik menyimpang, para oknum ini tetap menyebut diri mereka sebagai jurnalis. Mereka bahkan tidak ragu untuk tampil di ruang publik, mengklaim profesionalisme, sembari menjalankan kegiatan-kegiatan yang justru bertolak belakang dengan semangat jurnalisme sejati.
Seruan Tegas untuk Penertiban dan Penindakan:
Kami dari Sitijenarnews Group menyampaikan seruan tegas kepada aparat penegak hukum dan Dewan Pers untuk segera menindak praktik ini. Tidak ada satu pun aturan yang membolehkan wartawan, pimpinan redaksi, pimpinan media, ataupun ketua organisasi pers untuk bermain proyek, apalagi sampai terlibat dalam transaksi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Jika ada pihak yang menyatakan bahwa wartawan boleh mengelola proyek, kami tantang untuk menunjukkan dasar hukum yang sah. Kami siap berdiskusi dan membuktikan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang membenarkan penyimpangan semacam ini.
Kami juga mendesak Dewan Pers untuk mencabut sertifikat UKW dari para pelaku yang terbukti melanggar, serta mencabut verifikasi media yang tidak menjalankan fungsinya secara profesional. Baik media yang sudah maupun yang belum terverifikasi, jika terbukti menyimpang, harus ditindak secara adil dan tegas.
Kembalikan Jurnalisme ke Jalan yang Benar:
Profesi jurnalis adalah profesi yang luhur. Ia berdiri atas semangat keberanian, nurani, dan integritas. Jangan biarkan profesi ini menjadi kendaraan untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. Jangan pula menjadikan media sebagai alat tukar proyek dan kekuasaan.
Kami mengajak semua pihak di dunia pers mulai dari wartawan, redaktur, pemimpin media, dan pengelola organisasi pers untuk kembali ke marwah profesi. Bekerjalah sesuai tugas pokok dan fungsi jurnalis. Berpeganglah pada etika, hukum, dan kepentingan publik.
Jangan tumpang tindih antara kepentingan bisnis dan profesi. Karena ketika jurnalisme ditukar dengan kekuasaan, maka yang hilang adalah kepercayaan rakyat. Dan tanpa kepercayaan publik, media bukan lagi benteng demokrasi, melainkan hanya papan nama kosong yang tak bermakna.
(Redaksi/Tim Biro Sitijenarnews Group)