Berita

Kekosongan Hukum Pascapencabutan Pasal UU Kehutanan: Urgensi Revisi Regulasi Pemanfaatan Kawasan Hutan

Redaksi
×

Kekosongan Hukum Pascapencabutan Pasal UU Kehutanan: Urgensi Revisi Regulasi Pemanfaatan Kawasan Hutan

Sebarkan artikel ini

Isu.co.id.Situbondo, 5 Oktober 2024 Kajian Edukatif oleh: Eko Febriyanto Ketua Umum LSM Siti Jenar dan Direktur Utama PT Siti Jenar Group Multimedia

Perkembangan regulasi di sektor kehutanan Indonesia mengalami dinamika signifikan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang ini tidak hanya memperkuat upaya pemerintah dalam menangani perusakan hutan, namun juga membawa implikasi serius terhadap eksistensi sejumlah norma hukum yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Kajian yang disusun oleh Eko Febriyanto, Ketua LSM Siti Jenar, menyentuh langsung pada kekosongan norma hukum yang kini memunculkan problematika di lapangan: kegiatan mengerjakan, menggunakan, atau menduduki kawasan hutan, yang sebelumnya dikategorikan sebagai tindak pidana, kini tidak lagi memiliki dasar sanksi hukum secara eksplisit. Ini menciptakan ruang tafsir yang luas, membuka potensi konflik hukum serta kebingungan di kalangan masyarakat dan pejabat pelaksana teknis kehutanan.

I. Kerangka Hukum yang Berubah:

Dalam UU No. 41 Tahun 1999, Pasal 50 ayat (3) huruf a melarang siapapun untuk mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah. Ketentuan ini diperkuat dengan sanksi pidana dalam Pasal 78 ayat (2): ancaman penjara 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

Namun, sejak diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2013, pasal-pasal ini dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112. Anehnya, larangan tersebut tidak diatur kembali dalam UU 18/2013. Padahal, pasal-pasal tersebut sebelumnya menjadi dasar penting penegakan hukum terhadap pelanggaran penguasaan lahan di kawasan hutan.

II. Kekosongan Norma: Antara Ketidakpahaman dan Potensi Kerugian Negara:

Ketiadaan aturan lanjutan mengenai larangan mengerjakan atau menggunakan kawasan hutan menciptakan situasi paradoks: kegiatan yang sebelumnya dilarang kini menjadi wilayah abu-abu hukum. Banyak pejabat kehutanan, termasuk di lingkup Perum Perhutani, menyikapi seluruh aktivitas di hutan negara sebagai kegiatan “penggunaan kawasan hutan” yang memerlukan izin Menteri.

Trending :
Eko Febriyanto: kalau anda merasa bagian dari Insan Pers maka haruslah anda memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas informasi dan mendukung proses demokrasi yang sehat.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Jika merujuk pada Pasal 384 ayat (2) huruf h Permen LHK No. 7 Tahun 2021, peningkatan alur atau jalan untuk sarana pengangkutan hasil produksi tidak termasuk kategori penggunaan kawasan hutan yang harus mendapat izin, selama tidak melibatkan pelebaran atau pembangunan jalan baru.

Di sinilah muncul kesalahan tafsir yang perlu diluruskan. Banyak kegiatan masyarakat atau mitra pengelola yang hanya memperbaiki jalan lama, tanpa merusak vegetasi atau membuka lahan baru. Kegiatan tersebut, secara hukum dan logika administratif, lebih tepat dikategorikan sebagai pemanfaatan kawasan hutan, bukan penggunaan ilegal.

III. Kerja Sama sebagai Solusi Legal dan Ekonomis:

Pemanfaatan kawasan hutan secara sah sebenarnya dapat difasilitasi melalui mekanisme kerja sama antara pengelola kawasan (dalam hal ini Perum Perhutani) dan pihak ketiga seperti masyarakat, koperasi, atau investor. Hal ini sejalan dengan prinsip pemanfaatan dalam kehutanan yang mencakup:

Pemanfaatan kawasan.

Pemanfaatan jasa lingkungan.

Pemanfaatan hasil hutan kayu.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

Perjanjian kerja sama bisa menjadi solusi terbaik dalam situasi kekosongan norma pidana, karena selain memberikan kepastian hukum, juga mengamankan kontribusi terhadap pendapatan negara. Jika dibiarkan tanpa pengaturan formal, kegiatan produktif di kawasan hutan justru dapat berpotensi merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor: penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

IV. Tantangan Internal dan Kebutuhan Reformasi Administratif:

Sayangnya, di lapangan sering kali terjadi hambatan birokrasi. Kewenangan membuat perjanjian kerja sama terkonsentrasi di tingkat Direksi atau Divisi Regional, padahal unit pelaksana teknis di tingkat KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) lah yang lebih memahami kondisi dan urgensi di lokasi. Akibatnya, banyak kegiatan yang layak dilegalkan melalui kerja sama justru terlantar dan akhirnya dilaksanakan tanpa izin, menciptakan persepsi sebagai pelanggaran hukum.

Trending :
LSM Siti Jenar Terus Desak KPK Percepat Proses Hukum Karna Suswandi Cs

Jika dibiarkan, situasi ini bukan hanya memicu ketidakpastian hukum, tetapi juga bisa menjerat pejabat kehutanan dalam tuduhan kelalaian atau pembiaran terhadap aktivitas ilegal, meski sebenarnya masalah utamanya adalah ketidaksinkronan regulasi dan lambannya proses administratif.

V. Rekomendasi dan Penutup:

Berdasarkan kajian ini, Eko Febriyanto memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. Revisi UU No. 18 Tahun 2013 untuk mengatur ulang larangan pengelolaan kawasan hutan secara tidak sah agar tidak menimbulkan kekosongan hukum.

2. Desentralisasi kewenangan pembuatan kerja sama kepada Administratur KPH, agar proses legalisasi pemanfaatan kawasan dapat berjalan cepat dan akurat.

3. Pendidikan hukum kepada masyarakat dan aparat agar tidak terjadi salah tafsir terhadap definisi penggunaan, pemanfaatan, dan perusakan hutan.

4. Optimalisasi pendapatan negara melalui pengelolaan kawasan hutan berbasis kerja sama legal yang adil, transparan, dan berpihak pada kelestarian lingkungan.

Kajian ini menegaskan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat yang membatasi produktivitas, melainkan harus menjadi payung yang mengatur dengan adil. Kegiatan di kawasan hutan harus dibedakan antara pelanggaran dan pemanfaatan. Jika pengelola hutan gagal memahami perbedaan ini, maka mereka bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menghambat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Ditulis oleh:

Eko Febriyanto

Ketua Umum LSM Siti Jenar

Direktur Utama PT Siti Jenar Group Multimedia

Situbondo, 5 Oktober 2024

(Redaksi – Tim Biro Pusat Sitijenarnews Group)